Kisah mantan napi yang tercerahkan dan memperoleh tempat di hati masyarakat
TAN HOK LIANG adalah nama asli Anton Medan. Ia lahir di Tebing Tinggi, Sumatra Utara 1 Oktober 1957. Di usia 8 tahun, ia harus berhenti sekolah karena permintaan ibunya untuk membantu berjualan kue. Ia hanya mengenyam bangku Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD) selama 7 bulan, dan belum bisa membaca dan menulis.
Menginjak usia 12 tahun, Kok Lien yaitu nama kecil dari tan hok liang menjadi anak terminal Tebing Tinggi, menjual jasa mencarikan penumpang bagi sopir. Kok Lien dikenal rajin. Banyak sopir terminal senang dan memanggilnya Cina Tongkol (Cintong). Tapi tak semua sopir menghargai kerja kerasnya. Suatu ketika ada seorang sopir tidak memberinya upah. Kok Lien protes,Tapi sopir itu malah marah. Terjadilah perang mulut. Tak sabar, Kok Lien mengambil sebuah balok kayu dan menghantamkannya sekuat tenaga sehingga sopir bus itu pun tersungkur. Kok Lien lari. Tapi polisi berhasil menangkapnya.
TAHUN 1970 Kok Lien merantau ke Terminal Medan. Usianya baru 13 tahun. Di Medan ia bekerja sebagai pencuci bus. Seperti di terminal Tebing Tinggi, ia dikenal rajin. Dalam satu hari ia bisa membersihkan 3-5 badan bus yang berdebu. Seolah tak putus dirundung masalah, di terminal ini uangnya dicuri. Menyadarinya Kok Lien gelagapan. Setelah diselidiki, ia menemukan pencurinya dan menegurnya. Tapi si pencuri malah marah dan memukulnya. Orang-orang berdatangan, tapi tak ada yang melerai. Di saat tersudut, Kok Lien melihat sebilah kapak bergerigi yang biasa digunakan membilah es, tergeletak tak jauh darinya. Secepatnya ia ambil dan menghunjamkannya ke wajah lawannya. Seketika lawannya tersungkur dan Kok Lien ditangkap oleh polisi dan dipenjara selama 4 tahun di LP Tiang Listrik, Medan.
Menginjak usia 17 tahun Kok Lien bebas. Ia senang dan ingin cepat-cepat pulang untuk melepas rindu kepada keluarganya. Tapi sayang, sampai di rumah ibunya malu kepada tetangga dan mempersilahkan Kok Lien melepas rindu hanya 2 jam saja,lalu Kok Lien pergi kembali.
Di tengah kegalauan, Kok Lien ingat pamannya yang ada di Jakarta. Ia ingin menjumpainya dan meminta bantuan mencari pekerjaan. Tapi sayang, ia tidak tahu alamat persisnya dan walau tidak tahu alamat percisnya tetapi Kok Lien tetap pergi ke jakarta untuk mencari alamat pamannya dengan modal nekat.
Tiba di Jakarta, harapan yang ia pupuk selama perjalanan hancur berantakan. Kurang lebih 7 bulan ia mencari rumah pamannya. Tapi setelah bertemu, ternyata pamannya tidak mengakuinya sebagai kemenakan. Malah menistakannya. Begitu pun adiknya. Ia tercampakkan. Ia kecewa. Di tengah kekecewaan yang mendalam, ia bertemu kenalannya di simpang jalan yang berpenampilan parlente. Temannya baru saja menjambret. Mendengar cerita temannya, ia tertarik. Akhirnya, ia menjual celana kesayangannya demi sebuah pisau. Dengan pisau itulah ia mulai menjambret dan berhasil.
Mulai saat itu kehidupan Kok Lien berubah. Ia sudah memilih kejahatan sebagai profesi. Senjatanya tak sekedar pisau, tapi pistol. Ia pun terkenal sebagai penjahat kelas kakap dan paling dicari di Jakarta dengan nama Anton Medan!
Perjalanan hidup Anton Medan tak sekedar menjadi penjahat profesional. Ia menjadi bandar judi setelah meruntuhkan kekuasaan bandar judi besar bernama Hong Lie. Sebagai bandar judi, pendapatannya satu malam mencapai puluhan juta. Ia menikmati gaya hidup mewah. Tapi ironisnya, kekayaan itu habis pula di dunia judi. Ia frustasi, dan sebagai pelampiasannya justru bermain judi di Genting, Makau, Chistmas, Hongkong maupun Las Vegas. Ia kalah milyaran rupiah. Dalam kebangkrutan itu, ia menemukan hikmah kehidupan yang sangat mendasar. Sejak itulah ia mendalami Islam secara sungguh-sungguh, bahkan di kemudian hari dikenal sebagai da’i.
Di dalam penjara pun Anton Medan mencari Tuhan. Berkali-kali pindah agama, dan kini ia adalah seorang juru dakwah terkenal, pemilik/pengasuh sebuah pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan berbasis kewirausahaan untuk SMP dan SMA. Betapa penting mengenali sosok manusia macam ini, yang ternyata dulu sekeluar dari penjara Kuningan, ia mengalami ancaman akan dibunuh “secara misterius” pun diterimanya secara langsung, tetapi dengan satu syarat, dan manakala syarat tersebut dipenuhinya, malah berdampak lanjut dirinya terseret dan masuk ke dalam dunia mafia.selepas menetapkan pilihan Islam, ia dipercaya sebagai ketua RW di kampungnya. Sebagai abdi masyarakat, ia bekerja sunguh-sunguh. Bahkan ketika harus berhadapan dengan lurah yang diskriminatif terhadap warganya, ia bersedia melawan dan merelakan jabatan ketua RW yang ia sandang. Atas kesediaan berkorban ini, masyarakat di sekelilingnya makin simpatik padanya.
Demikianlah perjalanan hidup Anton Medan: bila dulu ia dibenci dan dihujat masyarakat, tapi sekarang ia dicintai masyarakat
Sumber:
http://www.posmetro-medan.com/index.php?open=view&newsid=20700
http://adibdata.blogspot.com/2007/12/dibenci-dihujat-dicintai-masyarakat.html
0 komentar:
Posting Komentar